Gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang, Jumat (11/3) mengingatkan rakyat Indonesia pada musibah yang sama, 26 Desember 2004 lalu. Namun meski sama-sama negara yang rawan bencana, harus diakui Jepang jauh mengalahkan Indonesia. Kesiapsiagaan Jepang menghadapi bencana gempa dan tsunami, tentu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk meminimalisir
korban jiwa. Tahun 2004, saat gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR) di 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer terjadi, Indonesia harus berduka untuk waktu yang lama. Gempa disusul tsunami menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas, 140.000 orang hilang dan 1.126.900 orang kehilangan tempat tinggal akibat disapu ombak tsunami setinggi 9 meter dalam waktu sekejap. Bencana ini merupakan tragedi
kematian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tsunami di Samudera Hindia inipun memakan korban jiwa hingga ke negara tetangga seperti Sri Langka, India, dan Thailand serta negara pesisir lainnya. Korban jiwa tak terhindari karena kurangnya peringatan dini dari pemerintah. Namun dari catatan beberapa kali sejarah gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang, jumlah korban jiwa bisa jauh ditekan. Gempa yang terjadi Jumat (11/3), masih dilaporkan ‘hanya ’ memakan korban jiwa dalam hitungan puluhan. Bahkan gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, Rabu (9/3) dengan kekuatan awal 7,3 SR, tidak berhasil membawa korban jiwa. Untuk mewaspadai gempa dan tsunami, Jepang memang patut dijadikan guru. Jepang selalu belajar dari kesedihan akibat gempa Kanto yang terjadi tahun 1891. Gempa 120 tahun lalu yang berkekuatan 7,9 SR itu, menewaskan sekitar 140.000 orang di wilayah sekitar Tokyo. Sejak itulah, dalam perkembangan kota bahkan negaranya, Jepang yang kemudian dikenal sebagai negara gempa dan angin Topan akhirnya membuat skema pembangunan mengikuti alam. Mungkin di dunia, hanya Jepang yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar. Karena di Jepang, 5 persen dari
APBN mereka wajib untuk antisipasi bencana guna melindungi sekitar 127 juta rakyatnya dari dampak bencana yang bisa terjadi kapan saja. Bandingkan dengan Indonesia, meski berada di jalur bencana dan memiliki penduduk hampir
229 juta jiwa, anggaran antisipasi bencana hanya dianggarkan Rp100 miliar saja di 2011. Sebelumnya di tahun 2010, anggaran bencana malah cuma Rp50 miliar. Bisa terbayang bukan, berapa jumlah anggaran saat tsunami Aceh menerjang Indonesia tahun 2004 lalu? Kembali pada Jepang, negara ini juga membuat jalur-jalur evakuasi gempa yang modern termasuk membuka taman- taman yang luas di setiap titik kota untuk titik berkumpul. Jepang juga membangun seluruh gedung-gedung tinggi dan perkantoran, bahkan rumah penduduk dengan disain anti gempa. Sistem antisipasi gempa dini (Early Warning System) selalu bekerja jauh sebelum bencana meneror warga. Subway kereta api yang digunakan hampir 70 persen untuk transportasi rakyat Jepang dan reaktor nuklir juga langsung mati otomatis begitu ada gempa. Sekitar 4 juta lift di gedung tinggi juga langsung berhenti begitu gempa terjadi. Jepang juga memiliki pembangkit listrik khusus saat bencana. Bahkan antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Sejak tahun 1960, pemerintah Jepang pun menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari Pencegahan Bencana untuk memperingati gempa bumi besar Kanto. Peringatan ini juga untuk mengingatkan rakyat Jepang tentang pentingnya persiapan menghadapi bencana. Karena itulah, rakyat Jepang sudah sangat terbiasa sekali menghadapi bencana karena setiap tanggal 1 September di berbagai tempat di Jepang diadakan latihan menghadapi bencana gempa bumi dan juga tsunami. Pakar gempa Danny Hilman Natawijadja dari Laboratorium
Gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada JPNN mengatakan, Indonesia harusnya belajar dari Jepang. Apalagi jumlah korban jiwa akibat bencana gempa dan tsunami Aceh jauh lebih besar dari bencana gempa Kanto yang membuat Jepang banyak belajar. ‘’Jauh sekali, jauh sekali antara Indonesia dengan Jepang. Mereka lebih dari segi infrastruktur, perhatian pemerintah dan kesadaran rakyatnya. Indonesia bisa saja mengejarnya, tidak ada kata terlambat. Harus berani menyiapkan anggaran yang besar, jika ingin menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih besar juga. Bencana tidak bisa ditebak kapan datangnya, ’’ kata Danny. Jika Jepang bisa mengambil pelajaran berharga dari gempa Kanto, apakah Indonesia bisa belajar dari bencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu? Mari kita tunggu bersama.
korban jiwa. Tahun 2004, saat gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR) di 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer terjadi, Indonesia harus berduka untuk waktu yang lama. Gempa disusul tsunami menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas, 140.000 orang hilang dan 1.126.900 orang kehilangan tempat tinggal akibat disapu ombak tsunami setinggi 9 meter dalam waktu sekejap. Bencana ini merupakan tragedi
kematian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tsunami di Samudera Hindia inipun memakan korban jiwa hingga ke negara tetangga seperti Sri Langka, India, dan Thailand serta negara pesisir lainnya. Korban jiwa tak terhindari karena kurangnya peringatan dini dari pemerintah. Namun dari catatan beberapa kali sejarah gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang, jumlah korban jiwa bisa jauh ditekan. Gempa yang terjadi Jumat (11/3), masih dilaporkan ‘hanya ’ memakan korban jiwa dalam hitungan puluhan. Bahkan gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, Rabu (9/3) dengan kekuatan awal 7,3 SR, tidak berhasil membawa korban jiwa. Untuk mewaspadai gempa dan tsunami, Jepang memang patut dijadikan guru. Jepang selalu belajar dari kesedihan akibat gempa Kanto yang terjadi tahun 1891. Gempa 120 tahun lalu yang berkekuatan 7,9 SR itu, menewaskan sekitar 140.000 orang di wilayah sekitar Tokyo. Sejak itulah, dalam perkembangan kota bahkan negaranya, Jepang yang kemudian dikenal sebagai negara gempa dan angin Topan akhirnya membuat skema pembangunan mengikuti alam. Mungkin di dunia, hanya Jepang yang memiliki Kementrian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry) yang setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar. Karena di Jepang, 5 persen dari
APBN mereka wajib untuk antisipasi bencana guna melindungi sekitar 127 juta rakyatnya dari dampak bencana yang bisa terjadi kapan saja. Bandingkan dengan Indonesia, meski berada di jalur bencana dan memiliki penduduk hampir
229 juta jiwa, anggaran antisipasi bencana hanya dianggarkan Rp100 miliar saja di 2011. Sebelumnya di tahun 2010, anggaran bencana malah cuma Rp50 miliar. Bisa terbayang bukan, berapa jumlah anggaran saat tsunami Aceh menerjang Indonesia tahun 2004 lalu? Kembali pada Jepang, negara ini juga membuat jalur-jalur evakuasi gempa yang modern termasuk membuka taman- taman yang luas di setiap titik kota untuk titik berkumpul. Jepang juga membangun seluruh gedung-gedung tinggi dan perkantoran, bahkan rumah penduduk dengan disain anti gempa. Sistem antisipasi gempa dini (Early Warning System) selalu bekerja jauh sebelum bencana meneror warga. Subway kereta api yang digunakan hampir 70 persen untuk transportasi rakyat Jepang dan reaktor nuklir juga langsung mati otomatis begitu ada gempa. Sekitar 4 juta lift di gedung tinggi juga langsung berhenti begitu gempa terjadi. Jepang juga memiliki pembangkit listrik khusus saat bencana. Bahkan antisipasi mengatasi gempa menjadi salah satu kurikulum wajib bagi siswa sekolah dasar di Jepang. Latihan antisipasi gempa dan tsunami, selalu dilakukan berkali-kali. Sejak tahun 1960, pemerintah Jepang pun menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari Pencegahan Bencana untuk memperingati gempa bumi besar Kanto. Peringatan ini juga untuk mengingatkan rakyat Jepang tentang pentingnya persiapan menghadapi bencana. Karena itulah, rakyat Jepang sudah sangat terbiasa sekali menghadapi bencana karena setiap tanggal 1 September di berbagai tempat di Jepang diadakan latihan menghadapi bencana gempa bumi dan juga tsunami. Pakar gempa Danny Hilman Natawijadja dari Laboratorium
Gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada JPNN mengatakan, Indonesia harusnya belajar dari Jepang. Apalagi jumlah korban jiwa akibat bencana gempa dan tsunami Aceh jauh lebih besar dari bencana gempa Kanto yang membuat Jepang banyak belajar. ‘’Jauh sekali, jauh sekali antara Indonesia dengan Jepang. Mereka lebih dari segi infrastruktur, perhatian pemerintah dan kesadaran rakyatnya. Indonesia bisa saja mengejarnya, tidak ada kata terlambat. Harus berani menyiapkan anggaran yang besar, jika ingin menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih besar juga. Bencana tidak bisa ditebak kapan datangnya, ’’ kata Danny. Jika Jepang bisa mengambil pelajaran berharga dari gempa Kanto, apakah Indonesia bisa belajar dari bencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu? Mari kita tunggu bersama.
No comments:
Post a Comment